Jumat, 14 Januari 2011

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam dua-tiga bulan terakhir telah terjadi sejumlah peristiwa penting yang sangat memengaruhi kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Antara lain adalah keputusan Pemerintah yang telah: menurunkan subsidi BBM dengan penaikan harga tiga jenis BBM, melanjutkan pemberian Bantuan Langsung uang Tunai dan Bantuan Khusus Mahasiswa, menaikkan tarif listrik di satu sisi sambil memadamkan secara bergilir berdasarkan waktu dan lokalitas di sisi lain untuk mengatasi krisis pasokan, menyelenggarakan forum-forum regional dan internasional untuk menarik investasi, dan lain-lainnya yang pasti luput dari sebutan sekalipun seandainya saya dedikasikan satu hari penuh untuk mendaftarkannya di sini.
Peristiwa-peristiwa ini merupakan hasil sejumlah keputusan regulasional sebagai wujud konkret perencanaan sentral yang dilakukan badan eksekutif dan legislatif pemerintah. Tidak dipersoalkan di sini apakah kebijakan-kebijakan tersebut lebih merupakan aksi tanggapan terhadap berbagai faktor eksternal luar negeri atau dinamika pergolakan internal di dalam negeri, daripada misalnya langkah-langkah korektif atas kegagalan-kegagalan kebijakan yang ditempuh melalui proses perencanaan di masa lalu, oleh rejim pemerintahan lalu.
Harus diakui bahwa kebijakan-kebijakan ini lahir dari niat baik pemerintah, namun pengambilan keputusan-keputusan tersebut telah menyebabkan merebaknya pro dan kontra di seluruh elemen masyarakat, bukan hanya di tingkat masyarakat awam, melainkan juga melibatkan para intelektual dan bahkan di tingkat pengambil keputusan dan pelaku perencanaan itu sendiri. Selain itu, semua hasil kebijakan pemerintah tersebut juga mempengaruhi jalannya pemerintahan ke depan yang berdampak pada kehidupan masyarakat selanjutnya baik dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Masalah tersebut sangat menarik untuk dikaji dan dianalisis lebih lanjut.

B. Perumusan Masalah
1. Mengapa muncul kebijakan-kebijakan tersebut ?
2. Bagaimana dampak yang terjadi dengan munculnya kebijakan-kebijakan tersebut ?
3. Bagaimana pendapat serta solusi masyarakat umum dan pengamat ekonom terhadap dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah tersebut ?











BAB II
PEMBAHASAN

Keputusan Pemerintah mengenai kebijakan-kebijakan kontemporer seperti menurunkan subsidi BBM dengan penaikan harga tiga jenis BBM, pemberian Bantuan Langsung uang Tunai dan Bantuan Khusus Mahasiswa, serta menaikkan tarif listrik menurut sebagian masyarakat awam berpendapat bahwa keputusan-keputusan tersebut salah; sebagian lagi menyatakan dapat menerimanya karena keputusan tersebut adalah langkah logis yang tepat.
Berbagai alasan telah terlontar dari mulut para pejabat negara mengenai mengapa keputusan tersebut dibuat. Menteri Keuangan Boediono memberikan alasan bahwa pertimbangan pemerintah tersebut didorong oleh faktor teknis dan politis yaitu agar sebagian pekerjaan rumah tangga (pemerintahan) yakni memangkas subsidi diselesaikan pada 2003 karena pada 2004 akan digelar pemilihan umum. Agar lebih tenang dan pemerintah tidak mau kehilangan popularitas pada saat menjelang pemilu. Selain itu, keputusan menaikkan harga BBM dalam negeri diambil karena biaya subsidi BBM dalam negeri meningkat sangat pesat dengan naiknya harga minyak mentah dunia yang akhir-akhir ini mencapai di atas US$ 120 per barel. Jika tidak dilakukannya penyesuaian harga BBM dalam negeri, APBN yang merupakan salah satu pilar perekonomian menjadi tidak berkelanjutan dan menyebabkan runtuhnya kepercayaan pasar yang pada gilirannya berakibat pada merosotnya perekonomian nasional. Untuk itu, pemerintah membuat kebijakan-kebijakan kontemporer tersebut agar perekonomian nasional tidak semakin merosot dan bertekad mempertahankan kesejahteraan masyarakat yang berpenghasilan rendah terutama masyarakat miskin melalui program kompensasi, yang berupa:
1. Peningkatan program kemiskinan yang bersifat jangka panjang seperti PNPM, program keluarga harapan, program JAMKESNAS, program penyediaan beasiswa seperti Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM), program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), program pelayanan KB bagi PUS, Program KUR dan program lain yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat.
2. Program Kompensasi jangka pendek yaitu program Bantuan Langsung Tunai (BLT), perluasan program raskin, program penjualan minyak goreng bersubsidi dan program pasar beras murah untuk buruh, PNS Gol I / II, tenaga honorer serta Tamtama TNI / Polri.
Pengambilan keputusan besar tersebut ternyata menimbulkan dampak yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Analisis dampak kebijakan-kebijakan kontemporer pemerintah dapat dilihat baik dalam jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.
Adapun dampak kebijakan misalnya kenaikan harga BBM yang telah diputuskan pemerintah telah menyebabkan berbagai program-program sosial lahir yang membawa rakyat Indonesia semakin sengsara. Dalam kondisi perekonomian yang belum pulih dari krisis pada tahun 1997, serta situasi politik yang masih tak menentu, kenaikan harga BBM akan dengan sangat cepat mempengaruhi kenaikan harga bahan pokok, listrik, dan harga elektronik. Tingkat perekonomian nasional semakin merosot, nilai dari rupiah akan semakin rendah meski perputaran uang menjadi lebih tinggi namun nilainya tetap menurun. Sehingga biaya hidup ke depan akan semakin berat. Menurut GPB Suka Arjawa (2008), jika diperhitungkan ada tiga faktor pesimis yang membuat biaya hidup ke depan cukup berat dan kesemuanya merupakan faktor eksternal, faktor tersebut adalah:
1. Naiknya posisi Cina dan India menjadi negara industri. Akibatnya, bahan pangan dan minyak dunia sebagian besar akan tersedot ke kedua negara tersebut. Ini tentu saja membuat jatah pangan dan minyak ke negara lain berkurang (menimbulkan persaingan yang membuat harga naik).
2. Naiknya harga jual BBM membuat lahan-lahan pertanian konvensional (misalkan untuk menanam padi dan perkebunan) diubah menjadi lahan penanaman bahan biodiesel (minyak kendaraan), misalkan lahan untuk menanam jarak. Akibatnya, harga pangan pasti akan naik karena secara global lahan untuk menanam pangan menjadi berkurang. Kecenderungan ini telah ada sampai saat ini. Belum lagi jika diperhitungkan dengan semakin bertambah luasnya pemukiman penduduk.
3. Kondisi iklim dunia yang selalu berubah-ubah. Kondisi ini memerlukan minyak bakar harus tersedia di negara-negara bermusim empat. Dengan demikian, bisa disimpulkan ke depan harga pangan dan minyak pasti akan terus naik. Ini bermasalah bagi Indonesia karena akan mempengaruhi perekonomian nasional dan membuat harga-harga ekonomi naik.
Untuk mengurangi dampak yang terjadi akibat kenaikan harga BBM, pemerintah mengeluarkan program-program sosial seperti program pemberian Bantuan Langsung uang Tunai (BLT), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM), menaikkan tarif listrik di satu sisi sambil memadamkan secara bergilir berdasarkan waktu dan lokalitas di sisi lain untuk mengatasi krisis pasokan, menyelenggarakan forum-forum regional dan internasional untuk menarik investasi, dan lain-lainnya. Namun program-program tersebut tidak berjalan dengan baik bahkan dapat dikatakan mengalami kegagalan.
Harus diakui bahwa program-program sosial tersebut lahir dari niat baik pemerintah dan tidak cuma berisi kegagalan. Terutama jika pembahasan tentang program tersebut kita batasi dengan melihat dan menganalisis dampak jangka pendeknya, akan cukup jelas bagi kita bahwa tidak semuanya berakhir buruk. Memang benar BLT, BOS dan BKM dan sebagainya tidak membuat parit-parit di lingkungan kita menjadi lebih bersih atau terbebas sepenuhnya dari sampah, namun bagi sebagian golongan, terutama para penerima BLT dan BKM, atau pebisnis terkait, keputusan-keputusan tersebut dapat menjadi sumber rejeki yang dapat menjadi jawaban bagi persoalan kehidupan, meski sesaat. Sedangkan untuk efek-efek program jangka menengah dan panjang ternyata tidak memadai sebagai strategi pembangunan ekonomi. Hasil analisis menyatakan bahwa dalam jangka menengah dan panjang tujuan-tujuan pemerintahan yang ingin dicapai melalui modus tersebut tidak tercapai, malah akan memperburuk keadaan dan memperuncing kegentingan situasi. Berdasrkan hasil analisis, gagasan-gagasan dibuatnya program-program sosial tersebut terpaksa harus dikatakan sebagai ide-ide yang buruk, dalam arti bahwa program-program tersebut tidak akan membawa kita kepada tujuan yang kita harapkan.
Pengambilan keputusan-keputusan tersebut telah menyebabkan merebaknya pro dan kontra di seluruh elemen masyarakat, bukan hanya di tingkat masyarakat awam, melainkan juga melibatkan para intelektual dan bahkan di tingkat pengambil keputusan dan pelaku perencanaan itu sendiri. Ada sebagian masyarakat menyatakan setuju dengan keputusan tersebut dan sebagian lagi menyatakan ketidaksetujuannya.
Menurut Fadhil Hasan, pengamat ekonomi mengatakan bahwa kebijakan menaikkan harga BBM merupakan kebijakan ekonomi yang paling rasional. Pemerintah jangan menyandera kebijakan ekonomi ini karena lebih baik menaikkan BBM secara bertahap daripada menaikkan BBM 126% seperti kenaikan BBM tahun 2005. Sama halnya dengan pendapat Aviliani, pengamat ekonomi yang mengatakan subsidi yang paling besar saat ini ada di premium, sehingga disparitas harga premium subsidi dengan harga minyak dunia mencapai 50%, oleh karena itu, kenaikan BBM 5%-10% sangat penting dilakukan untuk mengurangi disparitas itu secara bertahap.
Dalam kasus BLT dan penurunan subsidi, sejumlah ekonom menyatakan persetujuannya dengan langkah pemerintah. Sejumlah tokoh intelektual baik secara pribadi maupun institusional melalui berbagai forum intelektual menyarankan agar BLT halal diterima atas dasar bahwa hal tersebut sudah inheren termaktub sebagai hak rakyat atas konstitusi 1945, yang dijadikan induk bagi seluruh hirarki legislasi yang boleh dilakukan di negeri ini.
Melihat dampak-dampak yang terjadi akibat berbagai keputusan yang diambil oleh pemeintah menyebabkan sebagian masyarakat menolak mentah-mentah dengan kebijakan tersebut. Menurut sebagian besar masyarakat, kebijakan-kebijakan kontemporer tersebut tidak membawa perubahan-perubahan yang signifikan bagi rakyat Indonesia terutama kesejahteraan rakyat kecil melainkan justru membawa rakyat menuju jurang kemiskinan. Pendapat lain menyatakan bahwa semua hasil kebijakan pemerintah yang mempengaruhi jalannya pemerintahan ke depan tidak pantas disebut sebagai hal-hal yang menarik, sebab jalannya pemerintahan sangat penting untuk kesejahteraan rakyat.
Perubahan-perubahan menuju lebih baik yang telah dijanjikan oleh pemerintah tidak terealisasikan menyebabkan sebagian besar orang terutama rakyat kecil mudah menjadi emosional, merasa tidak puas, marah, bahkan sinis atau frustrasi. Demo-demo yang marak di berbagai kota hingga saat ini adalah wujud ekspresi perasaan-perasaan tersebut. Misalkan saja demo yang menentang kenaikan harga bahan bakar minyak, tarif listrik dan telepon semakin marak, melibatkan berbagai komponen masyarakat yang vokal dan meledak di seantero negeri ini. Pemerintah kelihatannya tidak mengira bahwa reaksi masyarakat akan begitu keras dan pemerintah mungkin juga tidak sadar bahwa dalam sepanjang sejarah kenaikan harga yang terjadi di negeri ini, tidak pernah terjadi harga-harga barang dan jasa yang sangat vital bagi seluruh masyarakat dinaikkan sekaligus. Sesuai istilah “Orang kaya akan semakin kaya, orang miskin akan semakin miskin”, subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok berpendapatan menengah dan atas. 20% masyarakat kelompok terkaya menikmati hampir 50% subsidi BBM. Sementara 20% masyarakat termiskin hanya menikmati 5,15% subsidi BBM. Selain itu dengan semakin besarnya subsidi BBM mengakibatkan berbagai program untuk masyarakat miskin menjadi tidak mungkin dilaksanakan. Secara tidak disadari, bahwa semua desain sosial masyarakat telah diciptakan mengikuti aliran modern yang bersandar kepada mobilitas bermesin, yang sudah tentu memerlukan minyak.
Menurut perhitungan pemerintah untuk memperkecil pengeluaran negara, maka subsidi BBM di gantikan posisinya dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dalam kasus BLT dan penurunan subsidi, tidak sedikit dari masyarakat menolak atas keputusan tersebut. Menurut Muhammad Rijal (2008), Bantuan Langsung Tunai (BLT) bukanlah sebuah solusi, BLT hanya merupakan bentuk pembodohan, hampir sama dengan kelakuan pemerintah yang membagi-bagikan kompor dan tabung gas gratis. Yang terjadi malah kompor dan tabung gas tersebut dijual lagi. Kebijakan-kebijakan instan seperti ini sesungguhnya akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Terlebih kurangnya akses pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan. Sehingga masyarakat awam yang tak mendapatkan haknya misalnya pendidikan menjadi lebih bergantung pada kebijakan sesaat ini. Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diyakini sebagai obat pelipur lara, tidak lain adalah perusak moral bangsa, BLT akan semakin memicu tumbuh suburnya jiwa “pengemis” dan “pemalas” pada bangsa kita. Beramai-ramai rakyat mendaftar dan meyakini diri bahwa mereka adalah benar-benar miskin, tak peduli harga diri, dan malangnya yang benar-benar miskin malah tersingkirkan. Sesuai istilah “orang kaya akan semakin kaya, orang miskin akan semakin miskin”.
Sementara Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) sebagai program sampingan pemerintah merupakan salah satu kompensasi dari kenaikan harga BBM, atau jika dianalogikan dengan kenyataan, bahwa saat ini masyarakat kurang mampu versi pemerintah menerima BLT. Hal ini menjadi keresahan mahasiswa, yang mana pada saat kerasnya arus penolakan kenaikan harga BBM oleh mahasiswa, justru pemerintah dengan enaknya memberi umpan kepada mahasiwa itu sendiri. Selain itu, BKM ini juga dijadikan alat untuk membenturkan antara pihak mahasiswa dengan Pejabat kampus itu sendiri, karena bisa kita ketahui di media-media bahwa banyak dari aksi mahasiswa yang mengajak pihak rektoratnya untuk ikut berstatement menolak BBM naik dan menganggap BKM sebagai barang “haram” yang tidak lain adalah sogokan.
Satu fakta utama sebagai dasar telaah di sini, semua dampak kemunduran ini terjadi di mana pemerintah telah berperan amat dominan di dalamnya. Di sini pemerintah terjebak dalam situasi yang menyulitkan, di satu sisi pemerintah harus meleksanakan penyesuaian harga BBM dalam negeri agar keadaan perekonomian nasional tidak bertambah buruk dan di sisi lain pemerintah harus menghadapi dampak yang akan terjadi setelah keputusan tersebut diambil serta berbagai penolakan dari rakyat terhadap keputusan tersebut. Menurut pendapat Aviliani, pengamat ekonomi menyatakan bahwa "Pemerintah tidak perlu mencabut subsidi BBM 100%, tapi kurangi subsidi dengan kenaikan BBM sebesar 5%-10%, saya kira penting untuk itu. Karena, biar bagaimanapun kalau kita ingin ekonomi kita berkesinambungan, kenaikan BBM secara bertahap tiap tahun itu akan lebih baik daripada nanti 2009 kenaikannya lebih gila seperti 2005”.










BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
Kebijakan-kebijakan kontemporer seperti kenaikan harga BBM, pemberian BLT, BKM, BOS dan sebagainya yang muncul akhi-akhir ini merupakan hasil sejumlah keputusan regulasional sebagai wujud konkret perencanaan sentral yang dilakukan badan eksekutif dan legislatif pemerintah. Pertimbangan pemerintah tersebut didorong oleh faktor teknis dan politis.
Keputusan menaikkan harga BBM dalam negeri diambil karena biaya subsidi BBM dalam negeri meningkat sangat pesat dengan naiknya harga minyak mentah dunia. Jika tidak dilakukannya penyesuaian harga BBM dalam negeri, APBN yang merupakan salah satu pilar perekonomian menjadi tidak berkelanjutan dan menyebabkan runtuhnya kepercayaan pasar yang pada gilirannya berakibat pada merosotnya perekonomian nasional. Untuk mengatasi masalah dan memperkecil akibat maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan kontemporer tersebut melalui program kompensasi yang berupa program pemberian BLT, BKM, BOS dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa program-program sosial berupa transfer payment (subsidi) yang didasari atas niat baik sekalipun tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum, dan dalam jangka pendek dan panjang bahkan merugikan pihak-pihak penerimanya.
Kebijakan-kebijakan ini lahir dari niat baik pemerintah, namun pengambilan keputusan-keputusan tersebut telah menyebabkan merebaknya pro dan kontra di seluruh elemen masyarakat, bukan hanya di tingkat masyarakat awam, melainkan juga melibatkan para intelektual dan bahkan di tingkat pengambil keputusan dan pelaku perencanaan itu sendiri. Berbagai pendapat mengenai dampak masalah tersebut mengacu pada setuju dan ketidaksetujuan mereka.

2. Saran
Menurut pandangan saya keputusan pemerintah dalam pembuatan kebijakan-kebijakan kontemporer tersebut merupakan salah satu kebijakan yang dapat dikatakan baik dan dapat pula dikatakan sebagai kebijakan yang buruk.
Di satu sisi kebijakan tersebut ditujukan pemerintah untuk menekan penurunan tingkat perekonomian nasional, namun seharusnya kebijakan misal kenaikan BBM tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan bertahap sehingga dapat mengikuti harga minyak internasional secara bertahap. Dengan begitu, dampak kenaikan BBM tidak terlalu besar terhadap masyarakat.
Dan di sisi lain kebijakan tersebut menyebabkan berbagai dampak negatif terjadi. Dampak tersebut terlihat jelas pada tingkat perekonomian masyarakat yang semakin menurun, sehingga dapat disimpulkan bahwa program-program sosial berupa transfer payment (subsidi) yang didasari atas niat baik sekalipun tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum, dan dalam jangka pendek dan panjang bahkan merugikan pihak-pihak penerimanya. Oleh karena cara-cara tersebut secara logis tidak membawa kita kepada perbaikan kesejahteraan sebagai satu tujuan ultimat bernegara, maka penghentian program-program tersebut secara saksama dan dalam tempo yang secepat-cepatnya adalah satu-satunya kesimpulan logis yang harus diterima.
KEPUSTAKAAN

Anonymous. 2008. Program Bantuan Langsung Tunai Kepada Rumah Tangga Sasaran. http://www.bappenas.go.id/ . Diakses tanggal 08 Juni 2008.
Arjawa, Suka GBP. 2008. Kenaikan Harga BBM, Antisipasi Aspek Sosial-Politik. http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2008/5/9/o2.htm . Diakses tanggal 08 Juni 2008.
Aviliani dan Hasan, Fadhil. 2008. Indef Usulkan Harga BBM Naik 5%-6%. http://www.media-indonesia.com/berita . Diakses tanggal 08 Juni 2008.
Mar’ie, Muhammad. 2003. Kenaikan Harga, Tak Adakah Jalan Keluar?. http://www.transparansi.or.id/berita/berita-januari2003/berita3_130103.html. Diakses tanggal 08 Juni 2008.
Nad. 2008. Tinjauan Singkat Terhadap Kontribusi Ilmu Ekonomi dalam Kebijakan-Kebijakan Kontemporer. http://akaldankehendak.com/?p=275d. Diakses tanggal 08 Juni 2008.
Rijal, Muhammad. 2008. Bantuan Langsung Tunai. http://rijal28.wordpress.com/ . Diakses tanggal 08 Juni 2008.
Rothbard, Murray N. 1997. The Logic of Action One: Method, Money, and the Austrian School. London: Edward Elgar.






KLIPING KASUS

Tinjauan Singkat Terhadap Kontribusi Ilmu Ekonomi dalam Kebijakan-Kebijakan Kontemporer
By Nad. June 2, 2008

Dalam dua-tiga minggu terakhir telah terjadi sejumlah peristiwa penting yang sangat memengaruhi kualitas hidup dan kesejahteraan kita. Untuk menyebut sebagian saja, contoh-contohnya adalah keputusan Pemerintah yang telah: menurunkan subsidi BBM dengan penaikan harga tiga jenis BBM, melanjutkan pemberian Bantuan Langsung uang Tunai dan Bantuan Kredit Mahasiswa, menaikkan tarif listrik di satu sisi sambil meng-oglang atau memadamkan secara bergilir berdasarkan waktu dan lokalitas di sisi lain untuk mengatasi krisis pasokan, menyelenggarakan forum-forum regional dan internasional untuk menarik investasi, dan lain-lainnya yang pasti luput dari sebutan sekalipun seandainya saya dedikasikan satu hari penuh untuk mendaftarkannya di sini.
Peristiwa-peristiwa ini hasil sejumlah keputusan regulasional sebagai wujud konkret perencanaan sentral yang dilakukan badan eksekutif dan legislatif pemerintah. Tidak dipersoalkan di sini apakah kebijakan-kebijakan tersebut lebih merupakan aksi tanggapan terhadap berbagai faktor eksternal luar negeri atau dinamika pergolakan internal di dalam negeri, daripada misalnya langkah-langkah korektif atas kegagalan-kegagalan kebijakan yang ditempuh melalui proses perencanaan di masa lalu, oleh rejim pemerintahan lalu.
Pengambilan keputusan-keputusan tersebut telah menyebabkan merebaknya pro dan kontra di seluruh elemen masyarakat, bukan hanya di tingkat masyarakat awam, melainkan juga melibatkan para intelektual dan bahkan di tingkat pengambil keputusan dan pelaku perencanaan itu sendiri. Sebagian masyarakat awam berpendapat bahwa keputusan-keputusan tersebut salah; sebagian lagi menyatakan dapat menerimanya oleh karena mereka adalah langkah logis yang tepat. Dalam kasus BLT dan penurunan subsidi, sejumlah ekonom menyatakan persetujuannya dengan langkah pemerintah; di sisi lain, tidak sedikit dari mereka menolak atas berbagai alasan, dari persoalan asumsi yang terlalu tinggi/rendah, hingga ke tanggung-jawab negara. Presiden SBY pun hingga minggu terakhir sebelum pengumuman kenaikan BBM, dilaporkan sejumlah media memastikan tidak akan menaikknya pada tahun ini, antara lain karena di bulan Maret 2005 di masa awal kepemimpinannya ia telah menyetujui kenaikan BBM melebihi 124% dari harga sebelumnya. Pejabat tertinggi di kantor-kantor koordinasi perekonomian dan sosial menjanjikan akan menyusulkan paket kebijakan baru secara terpadu menyusul kenyataan bahwa pemimpin tertinggi di negeri ini ternyata harus menjilat ludah (dan tidak terbukti hingga saat ini, kecuali pengumuman berbagai kebijakan sampingan a.l. berupa BOS, BLT, BKM dan langkah-langkah fiskal lainnya seperti penurunan bea masuk untuk komoditas tertentu dan larangan ekspor barang tertentu).
Dalam hal-hal tersebut orang mudah menjadi emosional, merasa tidak puas, marah, bahkan sinis atau frustrasi. Demo-demo yang marak di berbagai kota hingga saat tulisan ini dibuat adalah wujud ekspresi perasaan-perasaan tersebut. Sejumlah tokoh intelektual baik secara pribadi maupun institusional melalui berbagai forum intelektual menyarankan agar BLT halal diterima atas dasar bahwa hal tersebut sudah inheren termaktub sebagai hak rakyat atas konstitusi 1945, yang dijadikan induk bagi seluruh hirarki legislasi yang boleh dilakukan di negeri ini; sementara BKM harus dianggap sebagai barang “haram” yang tidak lain adalah sogokan.
Anda dan saya pun dapat berbeda sikap dalam hal ini. Meski demikian, kemungkinan besar kita setidaknya masih bisa sependapat bahwa semua hasil *kebijakan* pemerintah yang mempengaruhi jalannya peristiwa-peristiwa ke depan tersebut tidak pantas disebut sebagai hal-hal yang menarik, sebab mereka terlalu penting. Kita sama tahu, meski mustahil mengetahuinya secara persis atau empiris, bahwa seluruh semesta kehidupan kita telah berubah sejak saat itu, dan perubahan-perubahan tersebut sangat tidak menarik. Hari-hari ke depan adalah keniscayaan konsekuensi-konsekuensi logis yang harus dijalani. Dalam hampir semua hal bagi sebagian besar kita, perkembangan di atas bahkan dapat sama-sama kita akui berarti suatu kemunduran, keburukan. Suka atau tidak suka. Dan tidak bisa tidak.
Satu fakta utama sebagai dasar telaah kita di sini, semua kemunduran ini terjadi di sektor-sektor di mana pemerintah telah berperan amat dominan di dalamnya. Pernyataan ini harus diterima terlepas dari apakah, atau sejauh manakah, kita menyetujui sepak terjang atau campur tangan pemerintah dalam perekonomian, dan terlepas dari apakah kita percaya bahwa tugas sejati negara adalah sebagaimana termaktub dalam Konstitusi, kita sama-sama menjadi saksi hidup atas telah terjadinya fenomena anomali berikut ini.
Di satu sisi, sesuai dengan hukum ekonomi yang berlaku universal di mana pun kita berada, jika A adalah seorang penjual jasa atau barang apapun, maka semakin banyak permintaan terhadap pelayanannya, maka A akan semakin berjaya melebihi para pesaingnya, dan kemungkinan besar akan menangguk keuntungan. Dan A akan semakin meningkatkan kuantitas atau kualitas layanan/barang, setidaknya mempertahankan di tingkat sekarang, demi keberlangsungan usaha dan eksistensinya sebagai makhluk hidup. Jika ia gagal melakukan ini, maka B seorang pesaingnya mungkin akan memanfaatkan kondisi tersebut agar dapat memuaskan keinginan pelanggan A. Kondisi normal dalam perekonomian sejati, di manapun, adalah kecenderungan terjadinya kelebihan produksi daripada kekurangan. Ketika permintaan akan barang/jasa diinginkan, maka pasar secara otomatis akan melakukan penyesuaian, tanpa mengingkari perlunya waktu dalam proses produksi, tentu saja.
Di sisi lain, di bidang pengadaan listrik dan BBM pola-pola kebijakan memiliki banyak kemiripan dalam hal karakteristik dan “hasil akhirnya”. Meski sama-sama dikelola oleh badan-badan yang monopolistis, tanpa kehadiran satupun pesaing, di kedua bidang tersebut telah terjadi sejumlah anomali. Anomali pertama adalah terjadinya kekurangan barang pasokan secara berkelanjutan. Anomali kedua terjadi ketika justru para konsumenlah yang harus lebih banyak dituntut untuk melakukan penyesuaian permintaannya. Dalam perilaku ekonomi yang wajar di kondisi pasar yang normal, seorang penjual peralatan komputer tidak akan menyarankan pembelinya agar berhemat dan membatasi pencetakan dokumen agar tidak terlalu sering membeli tinta komputer. Namun, tanpa harus menjadi sinis dalam menjelaskannya, kita perlu mengakui bahwa persis seperti inilah kejadian yang menimpa dunia kelistrikan dan energi lain di negeri ini.
Di bidang-bidang yang sangat menyentuh hajat hidup orang banyak, modus produksi dan perilaku ekonomi yang terjadi di negeri kita persis berlangsung di sisi ini. Dan kita dapat berpegang pada kenyataan-kenyataan yang telah berlangsung selama beberapa dasawarsa ini dalam membentuk opini kita. Analisis-analisis teoritis terhadap universalisme hukum ekonomi, serta analisis-analisis deskriptif terhadap anomali-anomali semacam di atas akan tetap sama-sama tidak terbantahkan sepanjang jaman.
Tentang Transfer Payments
Program-program transfer payments atau program-program subsidi baik sebagai program utama maupun kebijakan sampingan perlu dikritisi secara proporsional. Harus diakui bahwa program-program sosial ini lahir dari niat baik pemerintah dan tidak cuma berisi kegagalan. Terutama jika pembahasan tentang mereka kita batasi dengan melihat dampak jangka pendeknya, akan cukup jelas bagi kita bahwa tidak semuanya berakhir buruk. Memang benar, BLT, BOS dan BKM dan sebagainya tidak membuat parit-parit di lingkungan kita menjadi lebih bersih atau terbebas sepenuhnya dari sampah; namun, bagi sebagian golongan, terutama para penerima BLT dan BKM, atau pebisnis terkait, keputusan-keputusan tersebut dapat menjadi sumber rejeki yang dapat menjadi jawaban bagi persoalan kehidupan, meski sesaat.
Seberapa jauh kita harus menganalisis efek program sosial seperti ini? Haruskah kita menghentikan analisis dampak program-program tersebut hingga sejauh jangka pendek saja tanpa memperhitungkan efek-efek jangka menengah dan panjangnya? Good will semata ternyata tidak memadai sebagai strategi pembangunan ekonomi. Analisisnya telah kita lakukan sebelumnya, dengan hasil bahwa dalam jangka menengah dan panjang tujuan-tujuan pemerintahan yang ingin dicapai melalui modus tersebut tidak tercapai, malah akan memperburuk keadaan dan memperuncing kegentingan situasi. Dalam analisis terakhir, gagasan-gagasan tersebut terpaksa harus dikatakan sebagai ide-ide yang buruk, dalam arti bahwa mereka tidak akan membawa kita kepada tujuan yang kita harapkan. Ada baiknya gagasan seperti ini kita tinjau kembali, karena kita tidak ingin meremehkan kekuatan dan bahayanya. Oleh karena itu, untuk analisis yang lebih memadai, sidang pembaca diimbau untuk membaca kembali analisis logis mengenai dampak pengambilan kebijakan pemerintah untuk melindungi rakyatnya.
Kita cukupkan analisis tersebut dengan tambahan kecil yang menyoroti satu aspek lain dari program-program tersebut, yaitu dari aspek pendanaannya.
Darimana sumberdaya subsidi itu berasal? Pemerintah, sebagaimana diketahui, pada dasarnya tidak memiliki sumberdaya yang cukup untuk mendanai program-program tersebut. Ini terutama benar dalam konteks pemerintahan kontemporer di Indonesia saat ini. Yang dapat dilakukan pemerintah untuk tujuan ini, baik secara langsung maupun tidak, adalah cara-cara atau kombinasi berbagai hal sebagai berikut: 1) mencetak uang; 2) menarik pinjaman; dan 3) menarik pajak yang lebih besar dari sebagian warganya, atau mengalokasikan pajak yang ada.
Ketiga cara tersebut memiliki satu kesamaan yang amat kentara. Tidak memerlukan otak yang terlatih dengan teori ekonomi untuk mengenali bahwa semua cara tersebut bukanlah cara-cara produktif, melainkan semata cara distributif atas sumber daya yang ada.
Efek-efek dari penerapan satu atau semua modus di atas dalam jangka menengah dan panjang tidak terletak dalam cakupan otoritas atau kapasitas para pembuat kebijakan. Hukum ekonomi yang universal akan mendiktenya; tidak bisa lain, tidak bisa tidak.
Pencetakan uang akan berakhir pada pendilusian atau pencemaran/pelemahan nilai uang itu sendiri. Pencetakan uang akan membuat jumlah uang beredar lebih besar daripada daripada jumlah komoditas ekonomi yang tersedia. Dengan jumlah uang yang lebih banyak tiba-tiba “mengejar” komoditas yang tidak berubah; dalam waktu yang tidak terlalu lama, harga-harga akan bergerak naik untuk menyesuaikan dengan pertambahan jumlah uang yang ada. Dengan kata lain, daya beli uang akan berkurang; kita akan memerlukan uang yang lebih banyak untuk membeli satu barang, sekalipun secara riil nilai komoditas tersebut belum ikut bergerak naik. Inflasi akan semakin memengaruhi seluruh proses kalkulasi ekonomi dan membebankan kehidupan.
Penarikan pinjaman terutama untuk konsumsi adalah proses deplesi aset di masa depan yang akan memengaruhi proses alokasi modal dan dengan sendirinya proses produksi dan konsumsi masa depan plus beban untuk membayar biaya pinjaman.
Demikian pula dengan cara ketiga. Cara ini akan memengaruhi alokasi hasil pajak di masa sekarang dan masa depan untuk tujuan konsumsi masing-masing penerima bantuan. Selain itu, penggunaan bantuan tunai/barang tersebut mustahil dapat dipastikan; namun, semua ini tentu akan berpeluang besar untuk dipakai guna menyiasati kehidupan hari per hari yang akan semakin sulit. Diperlukan pemerintahan yang totalitarian untuk mengontrol dan memantau bagaimana uang-uang hasil bantuan tersebut dipergunakan. Pemantauan semacam ini akan membuat tindakan yang tidak produktif menjadi semakin tidak produktif, dan jika dilakukan tindakan ini sendiri akan menuntut biaya tambahannya sendiri.
Analitis di atas belum lagi mencakupi evaluasi etis, yang tidak menjadi fokus penulisan ini. Bagi sebagian dari kita semua ini memang tidak dianggap sebagai isu moral; namun, bagaimana halnya dengan sebagian pihak yang mempermasalahkannya? Jika analisis etis tidak diberikan secara memadai di sini, tidak berarti bahwa nilai pentingnya lebih inferior daripada analisis obyektif ekonomis, melainkan karena keterbatasan ruang dalam tulisan ini, di samping keterbatasan kemampuan penulis.
Untuk menelisik posisi dasar yang dapat memengaruhi sikap etis kita masing-masing terhadap isu-isu tersebut, kita dapat mengambil pendekatan top-down dan mengandaikan diri berada dalam posisi para pembuat peraturan (sisi suplai). Anggap saja ini semacam role playing atau simulasi, yang amat mewah tentunya, sebab dalam real-politik tidak ada simulasi dan hidup jelas sebagai perhelatan tidak pernah menawarkan gladi kotor maupun resik.
Jika sebagian kita tertarik dan meyakini diri mampu menjadi salah seorang pemimpin bangsa, atau menjadi pakar intelektual pemberi nasehat kepada pemimpin bangsa yang, apakah sebenarnya tujuan akhir semua ini? Kepentingan siapa yang harus diutamakan? Kepentingan manakah yang harus didahulukan-yang seketika atau yang jangka panjang?
Ketika kita disuguhkan bahwa tujuan akhirnya adalah membentuk masyarakat yang adil dan sejahtera, maka kita harus berhasil mendefinisikan keadilan dan kesejahteraan, sebagai pepesan-pepesan yang harus diyakini benar-benar berisi kandungan tertentu.
Jika kita mengetahui bahwa kepentingan yang harus kita bela adalah kepentingan nasional, maka kita harus memastikan siapakah pembentuk nasion itu. Jika akal membimbing kita untuk meyakini bahwa pembentuk nasion itu adalah rakyat atau masyarakat, kita masih harus mendefiniskan lagi rakyat atau masyarakat yang mana.
Umpamanya kita tidak memiliki jawaban-jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas, apakah Republik ini harus diteruskan? Apakah sebuah negara harus berdiri lantaran negara tersebut harus berdiri bagi dirinya sendiri? Jika negara terlalu abstrak, pertanyaan tersebut bisa diubah: apakah sebuah rejim harus bertahan bagi dirinya sendiri?
Melalui proses intro- dan retrospeksi, kita akan tiba pada suatu pemikiran yang dapat diterima oleh mayoritas bahwa sebuah negara didirikan dan dipertahankan untuk memajukan kesejahteraan seluruh golongan tanpa favoritisme terhadap satu golongan tertentu, dan bukan demi saat ini saja melainkan serentang masa depan keberadaan bangsa tersebut going concerned ke arah infiniti, sebagaimana kita mendirikan warung kecil, meski dengan dengan trial-error, tetap tidak dengan harapan untuk gulung tikar di kemudian hari. Pertanyaan dasar selanjutnya adalah: bagaimana tujuan tersebut dapat diejawantahkan bagi tujuan dan seluruh pemangku kepentingan tersebut?
Jika seseorang mempertanyakan kembali nomenklatur dan hal-hal rudimenter tentang kenegaraan, apakah ia harus diinterpretasikan anti-negara, anti-pemerintahan? Apakah seseorang lantas dianggap pembenci pemerintah saat mengatakan hal-hal logis yang menurutnya tidak boleh dilakukan pemerintah? Jawabannya adalah tidak.
Apakah orang harus dianggap sebagai pembenci bensin atau minyak tanah, yang kebetulan baru saja melonjak harganya, saat mengatakan bahwa kita tidak boleh meminumnya karena bahan bakar tersebut tidak cocok untuk dijadikan makanan? Sekali lagi, jawabannya tidak; dan dalam semangat inilah diskusi ini kita lanjutkan.
Kontribusi Ilmu Ekonomi
Ilmu ekonomi yang sering dianggap sebagai instrumen paling-ampuh pemecah banyak persoalan sosial pada dasarnya memiliki kemampuan yang amat terbatas. Pada hakikatnya dia bukan ilmu tentang uang atau benda-benda sejenisnya. Ilmu ini berfokus pada tindakan manusia; secara lebih spesifik, tentang cara alokasi terbaik suatu means yang akan mendasari tindakan kita atas suatu tujuan (ends) tertentu. Ekonomi menggantungkan diri pada asumsi adanya tujuan dan para ekonom akan berangkat dari sana untuk mendeduksi teori-teorinya yang sahih dan relevan, untuk kemudian menentukan bagaimanakah cara terbaik untuk mencapai suatu tujuan.
Jika suatu cara bagi suatu tujuan dianggap sudah diperoleh, ekonomi dapat membantu memastikan apakah cara tersebut akan membawa kita pada tujuan tersebut. Secara per se ilmu ini tidak berurusan dengan kandungan tujuan itu sendiri, atau dengan apa yang terjadi di benak para penggagas kebangsaan kita saat menggagas tujuan bernegara, dan dalam pengertian ketat demikian ilmu ini disebut bebas-nilai.
Jadi ekonomi tidak mempermasalahkan tujuan kita bernegara; kita hanya dapat menarik dalil-dalilnya yang relevan dalam menganalisis cara terbaik guna mencapai tujuan tersebut. Sains ini menganggap given tujuan negara kita, yang untuk tujuan pembahasan di sini cukup aman untuk direduksi menjadi: memaksimalkan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia.
(Namun, kita masih harus menelaah peran keterlibatan ekonom, yang kerap tergelincir pada suatu proses moralizing yang implisit. Ketika seorang ekonom menghadapi kebijakan konkret, misalnya dia diminta untuk menganalisis cara terbaik untuk mewujudkan program penggelontoran bantuan langsung secara tunai, maka tidak dapat diasumsikan bahwa ekonom tersebut telah bersikap netral dan bebas nilai ketika ia menyetujui atau menolak pengaplikasian program tersebut. Implicit moralizing sudah terjadi; ia tidak lagi bersikap netral saat mendukung atau menolak program tersebut. Ia hanya dapat bersikap netral sejauh ia mencoba menganalisis apakah program BLT akan mencapai tujuan-tujuan yang ingin dicapainya, sebagai bagian dari tujuan bersama kita dalam bernegara.)
Oleh karena ekonomi berbicara tentang pemaksimalan utilitas, tentang maksmimasi kebahagiaan atau kesejahteraan kita, maka persoalan seputar tujuan bernegara perlu diterjemahkan dulu ke dalam pertanyaan-pertanyaan ekonomis yang lebih pragmatis semacam berikut ini:
Kapankah kita dapat mengatakan, berdasarkan standar ekonomi, bahwa kondisi masyarakat telah menjadi “lebih baik”? Atau kapankah kita bisa mengatakan bahwa manfaat bagi masyarakat yang diberikan program-program sosial melalui pemerintah telah meningkat atau dimaksimalkan?
Dalam pandangan saya yang saya usahakan akurat meski amat terbatas, teori utilitas (utility theory) dan teori kesejahteraan (welfare theory) sangat relevan untuk membahas inti permasalahan kita. Berikut saya mencoba menjabarkannya, meski dengan risiko melakukan oversimplifikasi terhadap proses panjang perkembangan pemikiran ekonomi dalam kaitannya dengan teori-teori utility dan welfare.
Prinsip Keseragaman
Saya akan memulainya dari satu pandangan ekonomi yang kebenarannya sudah umum, bahwa utilitas marjinal suatu barang semakin berkurang ketika unit utilitas barang yang homogen tersebut meningkat. Ketika Anda memiliki uang satu juta, maka pertambahan unit uang tersebut, katakanlah secara satu rupiah, akan menurun. Demikian juga jika misalnya Anda memiliki uang miliaran rupiah di posisi awal.
Namun, bagaimana teori utilitas tersebut ditafsirkan oleh para ekonom? Menurut salah satu interpretasi yang dominan oleh sejumlah ekonom neoklasik, maka dapat disimpulkan dengan “aman” bahwa nilai utilitas marjinal orang yang kaya berbeda dari yang miskin. Pemikiran semacam ini dijadikan justifikasi bagi penerapan pajak penghasilan secara progresif di mana, ceteris paribus, penghasilan orang yang kaya dibolehkan untuk dikutip lebih besar agar didistribusikan kepada yang miskin. Pemikiran semacam ini pula yang kiranya dipakai untuk menjustifikasikan program-program “pemerahan” orang-orang yang kaya demi keuntungan orang-orang yang dianggap miskin.
Terlepas dari segala kontroversinya, selama beberapa waktu ekonom mengikuti jalan pemikiran ulititarian seperti ini. Adalah Lionnel Robbins yang kemudian menunjukkan bahwa pandangan di atas hanya dapat diterima jika konsep utilitas dapat diperbandingkan dari satu orang ke yang lain. Menurutnya, oleh sebab ulititas adalah perkara ordinal yang tidak dapat dikuantifikasi, maka pertimbangan neoklasik tersebut tidak dapat ditarik dari dalil ekonomi, kecuali hasil penilaian etis yang kontroversial.
Dalam sanggahannya ini ia memperkenalkan kembali apa yang disebut sebagai Prinsip Keseragaman. Konsep unanimity rule ini, berasal dari ekonom Vilfredo Pareto, berbunyi kurang-lebih sebagai berikut: “Kita hanya dapat mengatakan bahwa peningkatan kesejahteraan sosial (utilitas sosial) telah terjadi sebagai akibat suatu perubahan jika tidak ada satu pun individu yang kondisinya menjadi lebih buruk akibat perubahan tersebut, sementara paling sedikit satu individu telah menjadi lebih sejahtera.”
Dalam perkembangan teori ekonomi kesejahteraan kemudian, selama beberapa dasawarsa konsep ini mendominasi pemikiran ekonomi. Jika kita kembali berpedoman pada konsep dasar bahwa utilitas interpersonal tidak dapat dijumlahkan atau dikurangi, maka harus ditekankan kembali bahwa ilmu ekonomi tidak dapat memberikan persetujuannya yang wertfrei terhadap modus tersebut.
Meski Robbins pun menekankan bahwa ekonom masih dan hanya memerlukan satu proposisi etis saja agar ekonom dapat membuat perbandingan ulititas secara interpersonal, yaitu: bahwa setiap orang memiliki “kemampuan setara dalam hal pemenuhan kepuasan”, kondisi tersebut tetap musykil dari sudut pandang ekonomi. Utilitas manusia tetap bukan sebagai sesuatu yang kardinal dan dapat diukur dan dijumlahkan oleh dunia ini tidak mengenal satuan unit apapun untuk mengukurnya. (Ini mengukuhkan pernyataan bijak nenek moyang kita bahwa kemakmuran bukan hanya soal uang dan rupiah.) Utilitas selalu perkara subyektif dan tidak dapat dijumlahkan menjadi suatu totalitas. Dengan demikian tingkat kesejahteraan secara total tidak bisa diterima karena hanya bersifat marjinal dan juga mengingat bahkan sistem preferensi satu orang individu yang sama pada satu titik waktu tidak bersifat tetap (fixed) di titik waktu yang lain; utilitas, nilai, preferensi adalah merupakan hal-hal personal bukan hal yang time-invariant (dapat beroperasi mandiri kapan pun).
Prinsip Kompensasi Kaldor-Hicks
Upaya khusus untuk menarik simpulan kebijakan yang masih terkait dengan prinsip keseragaman Robbinsian di atas dilakukan oleh Kaldor-Hicks melalui prinsip kompenasinya. Menurut mereka, utilitas sosial dapat secara ilmiah dikatakan meningkat jika para pemenangnya dapat memberi kompensasi kerugian kepada para pecundang dan masih tetap menjadi pemenang. Dan pandangan ini melandasi teori ekonomi modern tentang kesejahteraan.
Murray Newton Rothbard adalah salah seorang tokoh yang mengkritik keras pandangan ini. Dalam satu karya seminalnya*) yang dijadikan kerangka bagi tulisan ini, ia mengatakan bahwa kita dalam hal ini sedang berurusan dengan sesuatu yang aktual, bukan yang potensial terjadi. Ketika perubahan menyebabkan sebagian orang tertentu memeroleh manfaat sementara yang lain harus mengenyam kerugian, maka yang kita bicarakan bukanlah apakah para pemenangnya dapat, atau bersedia, memberikan kompensasi atas kerugian yang menimpa korban, melainkan apakah proses yang dilibatkan perubahan tersebut benar-benar terjadi memberikan kompensasi tersebut. Rothbard mengatakan, kalaupun program kompensasi harus ditempuh, kompensasi yang tidak memberikan pilihan kepada korbannya tidak dapat diterima sebagai suatu konklusi ilmu ekonomi.
Untuk kembali ke bumi pertiwi, di sini kita mulai dapat menanyakan: apakah BLT kompensasi yang sepadan? Apakah BKM sebuah kompensasi? Jika individu yang dapat menentukan sendiri cara terbaik membelanjakan Rp. 500 ribu miliknya ketimbang dirampas sebagai pajak untuk “diserahkan kembali” kepada mereka yang dianggap berhak menerimanya, bagaimana mengompensasi hal tersebut?
Jika kompensasi memang dapat dilakukan, prosesnya tetap akan harus melibatkan adanya pembandingan utilitas interpersonal, di mana skala preferensi dan sistem nilai satu individu harus diteliti dan diperbandingkan. Hingga saat ini, ini masih merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan tanpa keterpaksaan di satu sisi atau pemaksaan di sisi lain. Dan keterpaksaan/pemaksaan ini adalah proses yang akan mencederai kondisi psikis korban; dan hal ini harus dihitung juga sebagai kerugian.
Penutup
Apakah Anda setuju dengan kebijakan pemerintah yang telah menaikkan BBM per tanggal 24 lalu? Ternyata, ini bukan pertanyaan yang tepat. Penaikan atau penurunan harga BBM dan keputusan besar menyangkut hajat hidup orang banyak tidak dapat direduksi menjadi pertanyaan ya atau tidak, sebab hal mendasar ini terkait sangat erat dengan berbagai keputusan lain dan bermuara pada cara pandang kita terhadap perekonomian secara keseluruhan. Anomali-anomali besar yang terjadi dalam dua sektor strategis di atas lebih dari sekadar hasil kebijakan pragmatis pemerintahan. Persoalannya berawal dari persoalan ideologis, yang dapat dirunut kembali hingga ke Konstitusi 1945. Konstitusi dan segenap produk legislasi pada hakikatnya adalah seperangkat instrumen yang kita gagas bagi kemaslahatan bersama. Apabila perangkat tersebut ternyata tidak membawa kita kepada hasil yang kita dambakan, apabila ternyata perangkat tersebut membutuhkan elaborasi untuk meniadakan ketaksaan, dan kebingungan dalam pengimplimentasiannya, adalah tanggungjawab bersama untuk memperbaikinya—bahkan menggantikannya dengan instrumen lain yang lebih cocok.
Selain itu, sekalipun tanpa pertimbangan moral, melainkan berdasarkan paparan dan analisis teoritis ekonomis sebagaimana di atas, disimpulkan bahwa program-program sosial berupa transfer payment (subsidi) yang didasari atas niat baik sekalipun tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum, dan dalam jangka pendek dan panjang bahkan merugikan pihak-pihak penerimanya. Oleh karena cara-cara tersebut secara logis tidak membawa kita kepada perbaikan kesejahteraan sebagai satu tujuan ultimat bernegara, maka penghentian program-program tersebut secara saksama dan dalam tempo yang secepat-cepatnya adalah satu-satunya kesimpulan logis yang harus diterima. Para ekonom yang mendukung kebijakan-kebijakan tersebut perlu memeriksa kembali asumsi-asumsi dasarnya, menggugurkan asumsi-asumsi yang disinggung dalam tulisan ini, atau paling tidak perlu menyuguhkan asumsi-asumsi ilmiah lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara memuaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar